April 30, 2009

PEMBANGUNAN SEKTOR PARIWISATA DI ERA OTONOMI DAERAH

Jumlah perjalanan wisatawan mancanegara (wisman) di Indonesia pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan sebesar 19,1% dibanding tahun 2003. Sedangkan penerimaan devisa mencapai US$ 4,798 miliar, meningkat 18,8% dari penerimaan tahun 2003 sebesar US$ 4,037 miliar. Berdasarkan catatan sementara dari Biro Pusat Statistik, jumlah wisman ke Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 5,007 juta atau mengalami penurunan sebesar 5,90%. Penerimaan devisa diperkirakan mencapai US$ 4,526 miliar atau mengalami penurunan sebesar 5,66% dibanding tahun 2004. Namun demikian angka perjalanan wisata di dalam negeri (pariwisata nusantara) tetap menunjukan pertumbuhan yang berarti. Di tahun 2005 diperkirakan terjadi 206,8 juta perjalanan (trips) dengan pelaku sebanyak 109,9 juta orang dan menghasilkan pengeluaran sebesar Rp 86,6 Triliun.
Keseluruhan angka tersebut di atas, mencerminkan kemampuan pariwisata dalam meningkatkan pendapatan negara, baik dalam bentuk devisa asing maupun perputaran uang di dalam negeri.
Permasalahannya, apakah penerimaan devisa dan perputaran uang tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Oleh sebab itu makalah ini disusun untuk memberikan konsep berpikir (paradigma) baru dalam upaya pengembangan kepariwisataan di Indonesia. Selain itu makalah ini juga mencoba menjelaskan kecenderungan (trend) Global yang terjadi dalam perjalanan pariwisata internasional serta dampaknya terhadap perkembangan kepariwisataan Indonesia di era otonomi daerah pada saat ini.

KONDISI KEPARIWISATAAN NASIONAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Isu strategis pertama dalam masa penerapan otonomi daerah di sektor pariwisata adalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
a. lemahnya pemahaman tentang pariwisata
b. lemahnya kebijakan pariwisata daerah
c. tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi.
Akibatnya pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun propinsi/kabupaten/kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Padahal pengembangan pariwisata seharusnya lintas Provinsi atau lintas Kabupaten/Kota, bahkan tidak tidak lagi mengenal batas karena kemajuan teknologi informasi.
Isu kedua terkait dengan kondisi pengembangan pariwisata Indonesia yang masih bertumpu pada daerah tujuan wisata utama tertentu saja, walaupun daerah-daerah lain diyakini memiliki keragaman potensi kepariwisataan. Hal yang mengemuka dari pemusatan kegiatan pariwisata ini adalah dengan telah terlampauinya daya dukung pengembangan pariwisata di berbagai lokasi, sementara lokasi lainnya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Selain itu kekhasan dan keunikan atraksi dan aktivitas wisata yang ditawarkan masih belum menjadi suatu daya tarik bagi kedatangan wisatawan mancanegara, karena produk yang ditawarkan tidak dikemas dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh negara-negara pesaing. Salah satu kelemahan produk wisata Indonesia, yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negaranegara tetangga adalah kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan wisata Indonesia. Para pelaku kepariwisataan Indonesia kurang memberikan perhatian yang cukup untuk mengembangkan produk-produk baru yang lebih kompetitif dan sesuai dengan selera pasar.
Isu ketiga berhubungan dengan situasi dan kondisi daerah yang berbeda baik dari potensi wisata alam, ekonomi, adat budaya, mata pencaharian, kependudukan dan lain sebagainya yang menuntut pola pengembangan yang berbeda pula, baik dari segi cara atau metode, prioritas, maupun penyiapannya. Proses penentuan pola pengembangan ini membutuhkan peran aktif dari semua pihak, agar sifatnya integratif, komprehensif dan sinergis.
Isu keempat dapat dilihat dari banyaknya daerah tujuan wisata yang sangat potensial di Indonesia apabila dilihat dari sisi daya tarik alam dan budaya yang dimilikinya. Namun sayangnya belum bisa dijual atau mampu bersaing dengan daerahdaerah tujuan wisata baik di kawasan regional maupun internasional. Hal tersebut semata-mata karena daya tarik yang tersedia belum dikemas secara profesional, rendahnya mutu pelayanan yang diberikan, interpretasi budaya atau alam yang belum memadai, atau karena belum dibangunnya citra (image) yang membuat wisatawan tertarik untuk datang mengunjungi. Selanjutnya, pengemasan produk wisata dan pemasarannya, haruslah memanfaatkan teknologi terkini. Produk-produk wisata yang ditawarkan harus sudah berbasis teknologi informasi, sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan sekaligus meningkatkan kemampuan menembus pasar internasional.
Pada dasarnya minat utama wisatawan datang ke suatu destinasi pariwisata lebih disebabkan karena daya tarik wisata budaya dengan kekayaan seperti adat istiadat, peninggalan sejarah dan purbakala, kesenian, monumen, upacara-upacara adat dan peristiwa budaya lainnya. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan agama yang beragam menjadi potensi yang sangat besar dalam peningkatan kepariwisataan. Hampir tidak ada negara atau daerah di dunia yang memiliki penduduk yang heterogen dalam kepercayaan mereka. Sementara Indonesia sangat berbeda dan dari satu daerah ke daerah lainnya pengembangan pariwisata relijius merupakan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di masa datang.
Dengan mengacu pada penjelasan di atas dapat dikemukakan kekuatan, kelemahan dan peluang pembangunan kepariwisataan Indonesia seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Kekuatan Kelemahan Peluang
• Kekayaan budaya
• Pengemasan daya tarik wisata
• Keramahtamahan penduduk
• Kekayaan daya tarik wisata alam
• Terbatasnya diversifikasi produk
• Kemajemukan masyarakat
• Keragaman aktivitas wisata yang
• Masih lemahnya pengelolaan
• Jumlah penduduk yang dapat dapat dilakukan destinasi pariwisata berperan serta
• Kekayaan budaya
• Kualitas pelayanan wisata kepariwisataan
• Kekayaan daya tarik wisata alam
• Disparitas pembangunan kawasan
• Kehidupan masyarakat pariwisata (living culture) yang khas.
• Interpretasi, promosi dan komunikasi pemasaran
• Kualitas SDM
• Kondisi keamanan
Disamping kondisi tersebut di atas, masih ditemui dilema (paradox) dalam pengembangan industri pariwisata di Indonesia. Sifat paling mendasar dari investasi pada industri pariwisata adalah "High Investment, Not Quick Yield" artinya investasi di bidang pariwisata membutuhkan investasi yang besar dengan tingkat pengembalian yang lama (jangka panjang). Kondisi ini sungguh tidak menarik bagi kebanyakan stakeholders kepariwisataan yang masih memiliki budaya "Instant and Shortcut" dimana mereka lebih menyukai melakukan investasi yang dapat segera memberikan keuntungan. Sehingga para investor tidak tertarik menanamkan modalnya dalam mengembangkan usaha pariwisata. Dalam konteks ini diperlukan integrasi usaha pariwisata (tourism business integration) yang merupakan sinergi pelaku kepariwisataan secara horisontal maupun vertikal dan memberikan keuntungan atau manfaat bagi masingmasing pihak. Oleh karenanya diperlukan bentuk-bentuk insentif yang mampu merangsang timbulnya investasi di bidang kepariwisataan dengan menggunakan manajemen partisipatoris dengan melibatkan seluruh stakeholders baik masyarakat, dunia usaha, lembaga keuangan, pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten maupun Kota), serta pemerintah pusat.
Melihat seluruh kondisi tersebut di atas memerlukan pendekatan yang ditujukan untuk meningkatkan keunggulan daya saing (competitive advantage) yang dimiliki Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan. Michael E. Porter (2004) menyebutkan bahwa competitive advantage membutuhkan faktor-faktor pembangun seperti:
a. Cost Advantages
Keunggulan atas biaya yang harus dikeluarkan dalam penyediaan produk dan pelayanan wisata merupakan faktor penting dalam membangun keunggulan kompetitif destinasi pariwisata. Di dalamnya bergabung berbagai faktor yang mampu mengembangkan kinerja destinasi seperti perencanaan (desain); pengembangan produk wisata; pemasaran; pelayanan; serta harga. Dalam konteks pemerintahan, keunggulan biaya dapat pula dibantu dengan harmonisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah yang terkait dengan insentif keuangan, penetapan tarif serta skema perpajakan atau retribusi.
b. Differentiation
Membedakan destinasi dan produk pariwisata merupakan fokus dalam mengembangkan keunggulan komparatif kepariwisataan. Suatu destinasi pariwisata harus mampu menjadi berbeda dengan pesaingnya ketika menghasilkan aksesibilitas, atraksi dan amenitas yang unik dan berharga bagi wisatawan yang datang. Diferensiasi tidak melulu dilakukan dengan hanya menawarkan harga produk dan pelayanan yang lebih rendah.
c. Business Linkages
Mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan merupakan suatu proses integratif dalam membangun keunggulan kompetitif kepariwisataan. Hubungan yang dibangun bersifat vertikal dan horizontal serta saling terintegrasi satu sama lainnya.
d. Services
Pelayanan yang konsisten semenjak wisatawan tiba di pintu masuk (entry point), pada saat berada di destinasi pariwisata sampai dengan kepulangannya. Seluruh pihak yang terkait seperti adminsitratur bandara dan pelabuhan, petugas imigrasi, bea cukai dan karantina, supir taksi dan lainnya seyogyanya mampu memberikan pelayanan prima dan baku sehingga meninggalkan kesan yang dalam bagi wisatawan.
e. Infrastructures
Kondisi prasarana dan sarana pendukung kepariwisataan yang terpelihara dan beroperasi dengan baik juga merupakan faktor penting pembangun keunggulan kompetitif suatu destinasi pariwisata.
f. Technology
Penggunaan teknologi yang tepat dan mudah digunakan akan mampu memberikan dukungan bagi pelayanan kepada wisatawan yang datang selain mampu juga mendukung proses pengambilan keputusan dalam pengembangan, pengelolaan dan pemasaran destinasi pariwisata.
g. Human Resources
Kompetensi sumberdaya manusia pelayanan dan pembinaan kepariwisataan menjadi kunci penting pelaksanaan berbagai faktor pembentuk keunggulan kompetitif tersebut di atas. Berbagai faktor pembentuk keunggulan kompetitif tersebut menggambarkan kompleksitas pengembangan kepariwisataan yang bersifat multisektor dan multidisipliner bagi di tingkat pusat, provinsi maupun lokal. Namun demikian untuk melaksanakannya secara berhasil diperlukan 3 elemen penting yaitu a) Visi; b) Kepemimpinan (Leadership); dan c) Komitmen. Ketiga elemen ini harus pula ditunjukkan secara nyata dalam proses pengembangan, pengelolaan dan pemasaran kepariwisataan. Khususnya ditingkat pusat secara kongkrit, implementasi dari ketiga elemen tersebut di atas telah dibuktikan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.

Pembangunan kepariwisataan Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, tantangan dan hambatan baik yang berskala global maupun nasional. Selain itu diperlukan pula perubahan paradigma dalam memandang pariwisata dalam konteks pembangunan nasional. Pariwisata tidak lagi semata dipandang sebagai alat peningkatan pendapatan nasional, namun memiliki spektrum yang lebih luas dan mendasar. Oleh karenanya pembangunan kepariwisataan Indonesia memerlukan fokus yang lebih tajam serta mampu memposisikan destinasi pariwisatanya sesuai potensi alam, budaya dan masyarakat yang terdapat di masing-masing daerah.
Dalam konteks ini, setiap daerah harus dapat memposisikan dirinya dalam kerangka pembangunan kepariwisataan nasional dengan diimbangi dengan perencanaan yang matang dan upaya-upaya peningkatan kompetensi SDM yang berkualitas dunia. Pada lampiran disajikan pula berbagai indikator ekonomi perkembangan kepariwisataan Indonesia yang dapat dipergunakan dalam mengembangkan kepariwisataan di berbagai daerah khususnya dalam konteks pengembangan wisata bahari.


DAFTAR PUSTAKA:

Boxwell, Robert J., Jr. (1994), Benchmarking for Competitive Advantage, McGraw-Hill, Inc., New York.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (2005), Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional 2005 – 2009, Jakarta.
Porter, Michael E. (2004), Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance, with a new introduction, copyright 1985, Free Press Publishing, New York.
Thurow, Lester C. (1999), Building Wealth: the New Rules for Individuals, Companies, and Nations in a Knowledge-Based Economy, 1st Edition, HarperCollins Publishers, Inc., New York.
United Nation-World Tourism Organization (2005), Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid.
World Travel dand Tourism Council (2003), The Blueprint of New Tourism, WTTC, London.

Februari 11, 2009

TERORISME DAN INDUSTRI PARIWISATA

Latar Belakang Masalah
Terorisme, sebuah istilah yang membuat ngeri bagi sebagian besar orang yang mendengarkan, menjadi mimpi buruk bagi para pemimpin negeri, dan kadang menjadi alasan untuk menghalalkan negara-negara tertentu untuk ’menguasai’ negara lain. Lihatlah kasus negara adikuasa Amerika Serikat yang ‘menginvasi’ Negara-negara di timur tengah, kebanyakan isue terorisme menjadi pilihan alasannya.
Peristiwa 11 september yang menghancurkan pusat perekonomian dunia (WTC), peristiwa penyanderaan di hotel Bombay India, dan sabotase kereta api bawah tanah di inggris merupakan contoh konkrit yang menjadikan terorisme sebagai ancaman bagi negara manapun. Tidak memandang Negara besar atau kecil, terorisme sudah menjadi hantu yang menakutkan, bukan hanya bagi kalangan pemerintahan, akan tetapi juga bagi masyarakat dunia.
Di Indonesia, terorisme sempat malang melintang dan sangat mengganggu persendian perekonomian di tanah air beberapa tahun yang lalu. Bom bali yang meluluh latakan roda perekonomian di Bali, dimana pulau dewata ini mengandalkan dunia pariwisata sebagai tulang punggung perekonomiannya.

Pembahasan
Pariwisata atau turisme adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan, dan juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas ini. Seorang wisatawan atau turis adalah seseorang yang melakukan perjalanan paling tidak sejauh 80 km (50 mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi, merupakan definisi oleh Organisasi Pariwisata Dunia. Definisi yang lebih lengkap, turisme adalah industri jasa. Mereka menangani jasa mulai dari transportasi; jasa keramahan - tempat tinggal, makanan, minuman; dan jasa bersangkutan lainnya seperti bank, asuransi, keamanan, dll. Dan juga menawarkan tempat istrihat, budaya, pelarian, petualangan, dan pengalaman baru dan berbeda lainnya.
Banyak negara, bergantung banyak dari industri pariwisata ini sebagai sumber pajak dan pendapatan untuk perusahaan yang menjual jasa kepada wisatawan. Oleh karena itu pengembangan industri pariwisata ini adalah salah satu strategi yang dipakai oleh Organisasi Non-Pemerintah untuk mempromosikan wilayah tertentu sebagai daerah wisata untuk meningkatkan perdagangan melalui penjualan barang dan jasa kepada orang non-lokal.
Wisatawan memiliki beberapa motivasi dalam melakukan aktivitas wisatanya. Beberapa diantaranya: kebutuhan fisik (mengembalikan keugaran fisik dan psikis setelah bekerja selama 70 jam seminggu atau 50 minngu dalam setahun, mereka menyisakan sedikit waktu untuk istirahat), safety (kebutuhan untuk beristirahat ditempat yang nyaman dan aman tanpa gangguan pekerjaan dan berbagai urusan lain), belonging (kebutuhan untuk berkunjung ke tempat-tempat yang mempunyai kenangan), esteem (menghargai hasil karya atau keindahan alam di luar lingkungannya), dan untuk tahu dan mengerti (to know and uderstand) orang perlu untuk mengetahui dan mengerti tentang dunia luar secara lebih dekat.
Melihat beberapa motivasi tersebut, terorisme merupakan isu yang kontraproduktif bagi industri pariwisata. Kita lihat kasus seperti bom bali yang menimpa legian dan kuta, dua pusat keramaian di pulau ini. Setelah terjadinya pengebomban wisatawan yang berkunjung ke pulau dewata ini menurun dengan drastis. Hal ini mengingat terancamnya pemenuhan layanan kebutuhan wisatwan, yakni safety atau rasa nyaman dan keselamatan.
Wisatawan akan menunda kedatanggannya ke negara dengan ancaman terorisme yang tinggi, atau mereka akan berwisata ke tempat wisata alternatif yang lebih menjanjikan keselematan bagi mereka. Hal ini merupakan sebuah peluang bagi negara-negara yang mampu menjaga ’stabilitas’ negaranya yang mampu memberikan rasa nyaman dan aman, disamping terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan lain sebagaimana tersebut di atas.
Kejadian sabotase oleh terorisme di sebuah negara merupakan berkah bagi negara lain yang memiliki karakter tempat wisata yang mirip atau hampir sama dengan karakter tempat wisata di negara tersebut. Sebagai contoh, pada umumnya motivasi wisatwan yang berkunjung ke India, mereka cenderung termotivasi untuk lebih tahu dan mengenal budaya india yang sangat kental dengan nuansa keagamaan dan budaya asia selatan, disamping motivasi safety atau kenyamanan dan keselamatan. Wisatawan pada umumnya akan memilih negara dengan potensi wisata budaya yang tinggi sebagaimana ditawarkan oleh India. Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman budaya tentunya menjadi salah satu alternatif tersebut.
Melihat contoh kasus tersebut, wisatawan tidak akan serta merta memilih Indonesia sebagai negara tujuan wisatanya. Wisatawan perlu mengetahui terlebih dahulu tentang jaminan keselamatan dirinya, apa yang ditawarkan dan apa pula pelayanan yang disediakan oleh Indonesia. Sehingga promosi dan kampanye tentang potensi wisata di Indonesia juga perlu disampaikan kepada konsumen pariwisata.

Kesimpulan
Terorisme merupakan mimpi buruk bagi industri pariwisata di sebuah negara. Akan tetapi terorisme tersebut juga merupakan isu yang positif bagi negara lain yang memiliki potensi pariwisata. Bagi negara dengan isue terorisme yang tinggi, wisatawan tentunya enggan untuk berkunjung. Ditambah lagi bagi wisatawan dari negara yang pemerintahnya mengeluarkan kebijakan ’travel warning’ untuk melindungi warga negaranya. Hal ini juga mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan dari negara tersebut untuk mengunjungi sebuah negara yang di keai ’travel warning’ tersebut.
Jaminan keselamatan, penyediaan jasa pelayanan di barengi dengan tersediannya obyek wisata dan kenyamanan wisatawan senantiasa menjadi tuntutan wisatawan yang harus dipenuhi oleh sebuah negara yang mengandalkan pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatannya. Hal ini harus dilakukan secara sinergis oleh pemerintah bersama dengan stake holder pariwisata.
Promosi dan langkah-langkan strategis yang ditempuh sebuah negara dalam menangkal terorisme perlu untuk disampaikan kepada konsumen industri pariwisata. Hal ini untuk menyampaikan pesan bahwa negara tersebut telah mengani terorisme dengan sungguh-sungguh, sehingga menawarkan situasi yang aman dan nyaman.


DAFTAR PUSTAKA
David, Fred R, Manajemen Strategis: Konsep, edisi ketujuh, edisi indonesia, PT Prenhalindo, jakarta 2002

Hunger, David J dan Wheelen, Thomas E.: Manajemen Strategis, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2001

Mill, Robert Christine: Tourism: The Interational Business, Prentice-Hall, Inc. 1990

Nawawi, Hadari: Manajemen Stratejik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003.

Thomas, Howard, Pollock, Timothy and Gorman, Philip: Global Strategic Analysis: Framework and Approaches. Academy of management executive, vol. 13, No 1, Tahun 1999.

Januari 02, 2009

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA Hit: 24336
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.
Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.